Selasa, 02 Juni 2009

Keberuntungan (1)

Masih ingat tentang cerita saya yang ”hampir bangkrut”? Izinkan saya bercerita sedikit panjang tentang ini. Saya sudah berusaha mulai dari 7 tahun yang lalu setelah selesai kuliah, saat itu masih bujang jadi saya masih lincah dalam bergerak dan pastinya saya belum punya pengalaman kerja apapun. Usaha yang saya geluti di bidang sablon-menyablon yang terinspirasi oleh kesuksesan kakak saya di bidang konveksi/garmen. Saya masuk ke bisnis ini tanpa memiliki ilmu sablon. Seperti sahabat saya sang saudagar sayur, memang ada saja teman-teman alumni kampus dan keluarga yang mengejek ”sarjana koq nyablon?” Dan ini terjadi bukan hanya sekali tapi seringkali hingga kuping saya akhirnya kebal. Saya juga sering bergumam, mau diapain lagi? Alhamdulillah, masih banyak juga sahabat yang selalu memotivasi saya meskipun seringkali terdengar klise atau terlalu teoritis di telinga.


Selang 2 tahun berjalan saya mulai menguasai ilmu sablon dan program grafis. Mulai pelanggan kecil hingga akhirnya bisa juga melayani pelanggan besar dengan nilai penjualan puluhan juta. Gara-gara pelanggan besar ini, akhirnya saya juga mulai mendalami dan menguasai ilmu baru yaitu ilmu hutang karena saat itu (hingga sekarang) kota dimana saya berusaha salah satu sistem perekonomiannya terkait dengan Invoice atau istilahnya selesai barang baru 1 bulan kemudian dibayar. Hal ini sangat menyiksa pengusaha kecil seperti saya dan membuat cashflow perusahaan tidak sehat, sangat berbeda dengan sahabat juragan sayur, cash & carry bussiness, klo saya credit & carry bussiness atau istilah teman seprofesi saya, ToTal, Tolong Talangin dong…Jenis bisnispun saya ubah-ubah demi mencari ”setelan” yang pas mulai dari sablon spanduk, kertas, tas, tali id card, mug, pin, reklame, plakat dan banyak lagi yang kalau saya simpulkan bidang saya adalah General Supplier khusus bidang Promosi. Pernah mertua saya bertanya, kenapa sih koq gak keluar dari bisnis ini? Dalam hati saya jawab bukannya saya tidak mau keluar dari bisnis ini tapi hutang-hutang ini lho mau diapain?


Akhirnya hingga tahun keempat saya semakin berprestasi dengan terjerat hutang hingga ratusan juta rupiah yang amat menakutkan dan sangat membebani. Istri saya sering membuat saya tersenyum miris dengan mengatakan ”Tolong klo mati nanti, sebisa mungkin hutangnya dilunasi dulu ya? Kasian anak-anak kita bukannya dapat warisan harta tapi dapat warisan hutang”. Rumah seorang sahabat dan mertua pun keduanya tergadai di bank hingga saat ini karena saya tidak mempunyai harta apapun untuk saya gadaikan ke Bank. Tadinya semua pinjaman itu niatnya ingin menyehatkan perusahaan, eh malah semakin menyulitkan kondisi perusahaan karena nilai pekerjaan juga semakin besar maka nilai modal yang diperlukanpun semakin besar dan perputarannya tidak lancar. Saya bukanlah pengusaha yang dipercaya Bank dan mudah mendapatkan kredit. Malah sebaliknya, saya kecewa dengan pemerintah yang katanya mendukung pengusaha kecil nyatanya begitu mau pinjam kredit sulitnya bukan main. Setelah saya pikirkan, mungkin salah saya juga yang tidak punya agunan yang besar untuk mendapatkan kredit yang besar.


Dari tahun keempat hingga beberapa minggu yang lalu, kondisi perusahaan saya masih saja jumpalitan, gali lobang tutup lobang, terjerat dengan rentenir, cashflow masih saja tidak sehat. Permasalahan baru mulai muncul, karyawan saya sekitar 20-30 orang, banyak yang mulai tidak puas dengan pendapatan yang mereka terima karena mereka juga harus memperhatikan kesejahteraan keluarganya. Dan ini memang bukan salah mereka, salahnya kenapa dia bekerja di perusahaan saya? Ironisnya, hanya disinilah mereka bisa bekerja karena begitu sulitnya lapangan pekerjaan saat ini. Jadi selain hutang, yang membuat saya bertahan di bisnis ini adalah nasib karyawan dan keluarganya dan keluarga saya serta nama baik saya sendiri.


Saya iri dengan anak-anak orang kaya yang dengan mudahnya menutup suatu usaha dan membebani orangtua/keluarganya dengan hutang-hutang yang ada kemudian kembali memulai usaha yang baru. Bagi saya ini tidak mungkin, saya sudah memikirkan skenario bangkrut dengan baik, pertama menjual aset yang hanya berupa peralatan kerja, kedua menghadap keluarga untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah hutang, ketiga siap-siap mendengar berita bahwa orangtua saya mendapat serangan jantung karena kaget dengan anaknya yang mempunyai hutang ratusan juta.


Awal 2009 kondisi perusahaan saya masih sulit, selain bidang reklame dan souvenir promosi, saya makin nekad dengan mulai menekuni bidang desain interior-eksterior karena kebetulan ada seorang sahabat yang berpengalaman di bidang ini. Setelah saya selidiki, meskipun rumit pekerjaan ini setidaknya selalu bisa mendapatkan uang panjar.

1 bulan yang lalu saya nekad menerima pekerjaan pengecatan gedung (baru kali ini saya kerjakan dan pastinya bukan bidang promosi) dengan nilai ratusan juta rupiah, tergiur oleh janji adanya termin uang panjar 50 – 30 - 20 % awalnya saya berpikir ini pasti jalan keluar saya dari krisis ini. Jangankan jadi jalan keluar 1 bulan kemudian ini malah menjadi salah satu jalan masalah baru bagi saya karena pembayarannya macet karena uang dari kontraktor utama juga tidak lancar ke yang memberikan pekerjaan ke saya. Berbeda dengan bisnis pengadaan barang, bisnis proyek mau tidak mau harus menyelesaikan proyek tersebut untuk mendapatkan seluruh pembayaran. Akhirnya lagi-lagi saya terjebak dengan hutang-hutang untuk memodali proyek ini. Dan semakin menggununglah hutang saya, beban gaji bulan lalu pun saya biayai dengan hutang, tabungan sudah lama amblas, perhiasan istri dan semua aset bergerak pun tergadai. Istri saya pun hanya bisa pasrah dan selalu berdoa supaya diberi jalan. (Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar